dok-ugm |
Instalasi pengolahan biogas di Pasar Buah Gamping, Sleman, Yogyakarta ternyata belum optimal. Instalasi yang mengolah limbah buah jadi tenaga listrik ini telah dibangun 2 tahun lalu. Proyek ini dikembangkan Universitas Gadjah Mada (UGM) bekerja sama dengan University of Boras, Swedia, serta Pemkab Sleman dengan tujuan untuk mengembangkan sumber daya terbarukan saat menghadapi semakin menipisnya cadangan daya fosil.
Menurut Koordinator Program Waste Refinary Ir Siti Syamsiah PhD, kendala berupa minimnya pasokan sampah buah yang dapat digunakan untuk bahan baku biogas. Meski diperkirakan sampah buah yang ada di Pasar Buah Gamping mencapai 2- 4 ton 1 hari. “Secara tehnis, sampah banyak tetapi kekuatan operator terbatas. Butuh dibantu dengan mesin, ” katanya di Pasar Buah Gamping ( 22/3/2013 ).
Instalasi Pengolahan Biogas Hasil Kreasi UGM
Teknologi pengolahan limbah jadi biogas hasil kreasi UGM tersebut sebenarnya termasuk teknologi yang berdaya guna. Instalasi biogas itu membuahkan biogas yang dapat menghidupkan listrik untuk penerangan lokasi pasar tersebut.
Dikatakan, pasar buah gamping tiap harinya membuahkan 4 ton limbah buah busuk yang langsung dibuang ke area pembuangan akhir. Dengan instalasi pengolahan biogas itu, 4 ton sampah yang dihasilkan tiap-tiap hari di pasar gamping dikonversi jadi biogas. “Unit ini mempunyai kapasitas memproses sampah buah busuk sejumlah 4 ton /hari serta harapannya dapat membuahkan biogas sejumlah 333 nm kubik /hari, ” terangnya.
Siti menyebutkan biogas yang dihasilkan sudah digunakan sebagai bahan bakar penggerak generator listrik. Listrik yang dihasilkan dapat menyuplai keperluan listrik di lokasi pasar buah gamping. “Targetnya, daya listrik yang dibangkitkan sebesar 548 kwh/hari. Ini bila dalam situasi optimal. Daya tersebut dapat mencukupi keperluan listrik lebih kurang 500 kepala keluarga, ” jelas staf pengajar jurusan Tehnik Kimia FT UGM ini.
Berita saat ini menyebutkan sudah dibangun dua unit digester, alat untuk memfermentasi sampah buah jadi biogas, yang dalam 1 minggu dapat menghidupkan listrik untuk penerangan sebagian kios di Pasar Buah Gamping. Disamping itu, juga dapat menerangi jalan-jalan di sekitar pasar. Biodigester dibangun dibawah permukaan tanah dengan diameter 8 mtr serta tinggi 8 mtr.
Pengembangan teknologi instalasi pengolahan biogas dikerjakan bekerja sama dengan pemerintah swedia serta University of Boras, Swedia. Pemerintah swedia berikan pertolongan sebesar Rp 1, 6 miliar untuk pembangunan konstruksi biogas serta penelitian. Saat itu, untuk penyediaan genset serta jaringan listrik difasilitasi oleh Pemkab Sleman. UGM juga beri dukungan melalui penelitian mengenai pembuatan biogas dari sampah buah.
Disampaikan siti, teknologi yang dikembangkan mengambil teknologi instalasi pengolahan biogas yang sudah dikerjakan di Swedia. Tetapi, pemakaian teknologi terus sesuaikan dengan situasi lokal di Indonesia. “Teknologi pengelolaan biogas ini ditransfer dari Swedia, negara yang telah mengaplikasikan teknologi tersebut, ” jelasnya. Demo plant ( demplot ) unit biogas telah diresmikan 10 Februari 2011.
Sedangkan menurut Parl Carlsson, Coordinator Startegic Development, Boras Energy and Environment, selama 20 tahun terakhir Swedia fokus dalam usaha mentransformasikan sampah jadi sumber daya. Akhirnya, saat ini di Swedia lebih kurang 30 % daya listrik yang dipakai untuk menghidupkan pendingin ruangan disuplai dari biogas, yang berasal dai limbah buah. Disamping itu, biogas juga dipakai untuk bahan bakar tansportasi publik.
Kendala Instalasi Pengolahan Biogas
Saat ini di Pasar BUah Gamping telah ada sembilan orang tenaga operator yang diperkerjakan Koperasi Gemah Ripah untuk memilah sampah dari buah-buahan yang telah busuk. Namun menurut Siti jumlah tersebut belum mencukupi keperluan yang dibutuhkan. Pasalnya pekerjaan rumit dari pengolahan sampah buah tersebut yaitu sistem pemilahannya.
Sementara itu Ketua Koperasi Gemah Ripah, Suhartini, mengatakan, koperasi sekarang ini memproses sampah buah dari 82 pedagang buah yanga ada di Pasar Gamping. Seluruh sampah setiap pedagang lantas diangkut menggunakan gerobak ke area pengolahan sampah. “Jika musim spesifik sampah buah dapat raih beberapa puluh ton. Bila seluruh sampah buah itu dapat dipilah, maka di pasar buah ini dapat mandiri sumber dayanya, ” ujarnya.
Menurut Siti Syamsiah, daya tampung digester biogas yang dibangun di pasar buah tersebut dapat menyimpan lebih kurang 4 ton sampah. Dari jumlah tersebut dapat membuahkan listrik sejumlah 500 kw. Tetapi saat ini setiap harinya, dikarenakan kekurangan tenaga cuma dapat dipilah 1, 5 ton sampah buah yang dapat diolah lantas biogas.
Untuk memaksimalkan pemakaian instalasi pengolahan biogas tersebut menurut Siti dibutuhkan hubungan kerja seluruh penduduk terlebih untuk punya kebiasaan saat memilah sampah organik. Dengan demikian, ada tambahan pasokan sampah organik tak hanya sampah buah yang telah ada. “Masyarakat semestinya dapat turut berkontribusi untuk memilah. Seluruh sampah organik yang mudah busuk dapat dimasukkan disini, ” tuturnya.
Meski mengakui pengembangan instalasi pengolahan biogas ini belum berikan manfaat ekonomi untuk pedagang serta penduduk sekitar, namun keberadaan teknologi waste refinary ini menunjukkan bahwa anak bangsa mempunyai kekuatan dalam pengolahan sampah jadi daya terbarukan. “Kita ingin tunjukkan bahwa sampah tidak mesti dibuang demikian saja tetapi dapat hasilkan suatu hal berguna, ” ungkapnya.