Akhir-akhir ini berita tentang sontek massal yang dilakukan sebuah SD di Surabaya telah menjadi isu nasional. Bahkan beberapa siswa di daerah pun ikut membuka aib yang cukup memprihatinkan tersebut. Sebagai orang tua tentu kita pun prihatin dengan realitas yang sangat tidak mendidik tersebut.
Dibalik kasus sontek menyontek tersebut, mungkin kita perlu merenungkan tentang hikmah kejadian ini. Selama ini, tidak sedikit SD yang kekurangan murid akibat minimnya jumlah anak yang mendaftar. Sehingga kalau ujian nasional SD diberlakukan dikhawatirkan akan semakin memperumit persoalan.
Kita tentu tidak boleh merupakan hak anak-anak usia SD dan SMP yang sudah diakomodasi dalam program wajib belajar 9 tahun (wajar). Program ini merupakan ketentuan perundangan yang merupakan implementasi dari UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pemberlakuan ujian nasional untuk SD dapat dikatakan melanggar kebijakan tentang program wajib belajar 9 tahun tersebut. Bayangkan saja, kalau hasil unas kurang memuaskan dan siswa yang bersangkutan tidak lulus, maka hak anak untuk melanjutkan sekoah ke jenjang SMP akan terhambat. Apalagi kabarnya cara penilaian kelulusan SD disamakan dengan jenjang SMP dan SMA.
Oleh karena itu, pemerintah melalui kementerian pendidikan nasional perlu memikirkan kembali pelaksanaan ujian nasional untuk siswa SD tersebut. Meskipun penentuan kelulusannya ditentukan faktor hasil unas dan ujian akhir sekolah, namun hal itu tetap mencerminkan kesewenang-wenangan pemerintah yang menghambat hak anak untuk memperoleh pendidikan hingga usia 9 tahun. Karena itu, ujian nasional SD sebaiknya dihapuskan saja dan diserahkan kepada sekolah untuk melaksanakan ujian akhir sekolah. (*)