Otonomi Perguruan Tinggi untuk Kejar Ketertinggalan
Unknown
Pemberlakukan otonomi perguruan tinggi jadi kewajiban untuk diaplikasikan pemerintah pada seluruh jenjang perguruan tinggi di seluruh Indonesia untuk mengejar ketertinggal di tingkat internasional. Pasalnya, konsep Badan Layanan Umum (BLU) perguruan tinggi dianggap sebagian pengamat pendidikan sebagai sesuatu kemunduran dikarenakan perguruan tinggi tidak ubahnya hanya sebagai pelaksana satuan kerja pemerintah yang mengurusi administrasi.
Hal itu mengemuka dalam simposium nasional ‘Kontroversi Status PTN dan Masa Depan Otonomi Akademik’ di auditorium Sukadji Ranuwihardjo Magister Managemen FEB UGM ( 6/4 ). Melakukan tindakan sebagai pembicara, Rektor UGM Prof Dr Pratikno MSocSc, mantan Dirjen Dikti Satrio Sumantri Brojonegoro, Wakil Rektor Bidang Sistem Info dan Keuangan UGM Dr Didi Achjari SEakt, serta sosiolog UGM Prof Dr Heru Nugroho.
Keharusan Otonomi Perguruan Tinggi
Satrio Sumantri Brojonegoro menuturkan, munculkan rencana BLU perguruan tinggi menunjukkan bahwa pemerintah belum terlepas dari sindrom ‘pemerintah selalu benar’. “Akibatnya, kekuasaan itu jadi yang dominan, ” ungkapnya.
Situasi ini juga memperlihatkan rendahnya posisi perguruan tinggi dalam tatanan pemeritahan. Walau sebenarnya kunci suksesnya kemajuan dari perguruan tinggi terdapat pada modal kreativitas terbaik dosen serta mahasiswanya. “Bukan kepatuhan yang diperlukan namun kreativitas, ” tambahnya.
Lebih jauh Satrio mengatakan, pemerintah semestinya mendorong otonomi perguruan tinggi untuk melaksanakan kemandirian pengelolaan pendidikannya. “Semua universitas mesti otonom, tugasnya pemrintah untuk mendorong agar dapat otonom, bukan hanya menilai, ” tegasnya.
Satrio mengatakan sebagian universitas di Asia layaknya Malaysia, Thailand, Jepang dan China mengalami kemajuan cepat di banding Indonesia karena sudah melaksanakan otonomi perguruan tinggi yang demikian luas. “Malah kita saat ini maju mundur didalam otonomi universitas. Dulu Thailand serta Malaysia belajar ( otonomi universitas ) dengan Indonesia. Semestinya universitas kita semakin otonom serta makin naik peringkatnya, ” tuturnya.
Menurut Satrio, pemerintah perlu lebih mendorong PT BHMN yang sudah melaksankan otonomi untuk lebih menambah perannya di tingkat internasional. Namun perguruan tinggi yang lain dibantu untuk melakanakan otonomi. Disamping itu, kata dia, pemerintah juga mesti menambah dana research and development minimal 2-3 % dari keseluruhan gross domestic bruto (gdp). “Karena biaya R and D amat kecil. Naikkan 2 % R and D dari gdp dikarenakan kemajuan universitas ada pada reseacht and development, ” tuturnya.
Sedangkan Rektor UGM menyebutkan, pendidikan tinggi Indonesia memerlukan kebijakan revolusioner untuk menambah percepatan kualitas pendidikan tinggi supaya dapat sejajar dengan perguruan tinggi luar negeri yang telah semakin maju. (Baca juga otonomi bukan komersialisasi pendidikan)
“Pemerintah semestinya mendorong universitas yang menginternasional janganlah cuma mengurusi administrasi. Jangan sempai rektor kedepannya hanya jadi kepala satuan kerja pemerintah, ” kata Pratikno.
Debirokratisasi perguruan tinggi menurut Pratikno amat diperlukan supaya perguruan tinggi dapat menambah kinerja di bidang pendidikan serta penelitian dengan terus mengedepankan transparansi, partisipatif serta responsif pada permasalahan bangsa.
“Negara kita tengah mengembangkan democratic governance, supaya negara tidak terlampau birokratis, namun yang berlangsung di perguruan tinggi justru sebaliknya, ” tambahnya.
Sedangkan Didi Achjari menyebutkan otonomi universitas amat dibutuhkan untuk mendorong dosen menambah riset strategis untuk kemandirian bangsa. Dia prihatin sebab dalam Pengelolaan Keuangan BLU, beban administratif justru lebih besar. Berbeda bila melalui otonomi perguruan tinggi, UGM sebelumnya malah lebih mudah didalam pelaporan keuangan sdm serta pengadaan barang serta layanan.