Penentuan Waktu Lebaran
Unknown
Untuk kesekian kalinya umat Islam di Indonesia mengalami perbedaan dalam merayakan hari kemenangan Idul Fitri. Seperti kita ketahui, pemerintah telah mengumumkan dan menetapkan bahwa 1 Syawal 1432 H jatuh pada hari Rabu, tanggal 31 Agustus 2011. Dengan ketentuan ini, maka Lebaran jatuh pada hari yang berbeda dengan kalender yang telah dikeluarkan sebelumnya.
Namun sangat menarik memperhatikan proses penetapan awal Syawal pada sidang Isbat yang dipimpin oleh Menteri Agama dan disiarkan langsung oleh televisi swasta. Sebagai muslim yang sangat awam dengan masalah hizab, kita tentu tertegun dengan masukan yang disampaikan para tokoh agama dari berbagai ormas Islam.
Bukan hanya opini yang mereka sampaikan begitu jelas, dengan dalil atau referensi ayat Al Quran maupun hadits, namun juga penjelasannya begitu sangat masuk akal. Begitu juga dengan tokoh Muhammadiyah yang mendapat kesempatan berbicara agak terakhir, juga mampu mempertahankan keyakinannya “untuk berbeda”.
Namun mengikuti proses sidang Isbat saat penentuan hilal itu, ada beberapa persoalan yang tampaknya perlu dikritisi. Dari sekian banyak saksi yang dikirim dan diutus untuk menjadi saksi dalam melihat hilal di berbagai penjuru tanah air, ada dua saksi yang menyatakan melihatnya. Yaitu saksi yang ditempatkan di Jepara, Jawa Tengah dan di Cakung. Kenapa kesaksian dua orang yang telah diambil sumpahnya tersebut dianulir ?
Persoalan selanjutnya, kalau sudah yakin bahwa bulan akan berada pada posisi kurang dari empat derajat, sehingga mustahil dapat dilihat, seperti dikatakan para ahli astronomi jauh-jauh hari sebelumnya, kenapa Kementerian Agama tetap mengutus para saksi ? Lantas apa fungsi para saksi kalau hasilnya sudah diketahui akan ditolak? Apakah kasus semacam ini bukan seperti “menjebak diri sendiri”?
Sayangnya, tidak ada wartawan atau media massa yang mengejar dua saksi yang menyaksikan terjadinya hilal di Jepara dan Cakung tersebut. Padahal, bisa saja kita juga akan dapat mengetahui bagaimana kesaksian sebenarnya dari mereka.
Namun seperti kata para alim ulama, perbedaan dalam keberagamaan adalah rahmat. Mungkin umat Islam dapat belajar dan mengambil hikmah dari perbedaan Lebaran tahun ini. Namun ada yang menarik dengan masukan salah satu tokoh agama pada sidang Isbat itu, yaitu kenapa kita tidak meninggalkan yang sunnah dan lebih memikirkan tentang persatuan umat Islam yang tentunya jauh lebih utama dan penting. Semoga Allah mengampuni kita sebagai masyarakat atau umat yang hanya sekadar mengikuti para pemimpinnya. Minal Aidzin wal Faidzin. Mohon Maaf Lahir Batin. (*)